Thursday, December 11, 2008

Yumirna, Langkah Kecil Pascarehabilitasi Nias


KOMPAS CETAK: SOSOK

Kamis, 11 Desember 2008

Oleh AUFRIDA WISMI WARASTRI

Kesedihan dan kehilangan tentulah dirasakan Yumirna Zega, seperti umumnya para korban gempa dan tsunami yang melanda Pulau Nias, Sumatera Utara, tahun 2005. Namun, kesedihan dan kehilangan itu tak dia biarkan mengendap lama. Yumirna bangkit, ia rajin mengelola warung makan. Hasil dari keuntungan berjualan makanan itu, antara lain, untuk membeli notebook seharga Rp 6 juta agar anak-anaknya fasih dengan komputer.

Meski bisa dikatakan Yumirna ”sukses”, belakangan ini Yumirna merasa gelisah. Kegalauannya itu diikuti pertanyaan, apakah yang akan terjadi pada Pulau Nias saat Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Regional Nias berikut lembaga-lembaga internasional keluar dari pulau ini?

Kegelisahan yang beralasan. Tanggal 22 Desember 2008, Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Regional Nias resmi menutup kantornya. Meski ada tim penuntasan yang akan menyelesaikan proses rekonstruksi di pulau ini, kecemasan itu secara manusiawi muncul juga.
Pulau yang tertinggal di Provinsi Sumatera Utara itu mendapat kucuran dana Rp 1,3 triliun per tahun pascagempa dan tsunami. Semua itu harus berakhir. Ribuan orang yang bekerja di Nias mulai keluar sejak pertengahan tahun 2008 ini.

”Mau tak mau saya kepikiran juga, seperti apa kami nanti?” tutur Yumirna, pemilik warung nasi Andy Mursyid di Jalan Masjid, Desa Tetehösi, Kecamatan Idanögawo, Kabupaten Nias.

Warung nasi itu dia bangun bersama suaminya, Yasmin Harefa (50), mantan Kepala Desa Bozihöna, Kecamatan Idanögawo, selama dalam pengungsian akibat gempa dan tsunami.
Ketika gempa menggoyang Pulau Nias, 28 Maret 2005, Yasmin, Yumirna, dan lima anak mereka langsung meninggalkan rumah. Mereka berjalan kaki 12 kilometer selama dua jam, menembus malam dari Bozihöna sampai ke lapangan Idanögawo.

”Kami berjalan sambil terus berpegangan pada seprai supaya tidak terpisah satu sama lain,” kata Yasmin. Keluarga itu hanya sempat membawa senter dan selimut.

Di Desa Bozihöna, sebelum tsunami menerjang, mereka mempunyai warung yang melayani warga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, termasuk kebutuhan melaut para nelayan. Tiga hari setelah mengungsi, Yasmin baru pulang menengok rumah. Warungnya sudah kosong dan berantakan, selain rusak karena gempa dan tsunami, isi warung juga dijarah orang.

Lebih dari tiga bulan keluarga Yumirna-Yasmin bersama ratusan keluarga lain hidup di tenda di seputar lapangan Idanögawo. Tenda yang mereka tempati pun bermacam-macam, dari tenda darurat hingga tenda semipermanen. Untuk makan dan minum, mereka pun mengandalkan bantuan meski warga juga turut bekerja di dapur umum.
Warung kecil

Namun, apa enaknya hidup mengandalkan bantuan tanpa pemasukan sendiri?
Yumirna berinisiatif membuka warung kecil di bawah tenda bantuan UNHCR. Ia mendapat pinjaman dari tetangganya, Ama Raya, berupa satu meja darurat, gelas, piring, setengah kilogram gula, satu bungkus teh, seperempat kilogram kopi, dan satu kardus mi instan. Mulailah Yumirna berjualan.

Satu demi satu pekerja lembaga swadaya masyarakat (LSM) mampir ke warungnya. Sebagian mereka bertanya mengapa tak ada nasi? ”Tidak ada modal untuk berjualan nasi,” jawabnya. Mereka berjanji akan datang lagi ke warung itu jika Yumirna menyediakan nasi.

Ia lalu berupaya mencari pinjaman uang agar bisa menyediakan nasi bagi pelanggan. Ia berutang Rp 100.000 untuk membeli beras, ikan, daun ubi, bumbu-bumbu, dan bahan bakar. ”Satu piring nasi saya jual seharga Rp 5.000.”

Awalnya warung hanya dikunjungi satu-dua pembeli, lalu bertambah menjadi rata-rata tujuh pembeli per hari. Para pekerja LSM pun menyebarkan keberadaan warung Yumirna dari mulut ke mulut. Selain pekerja LSM, ia kemudian juga memasak untuk pekerja bangunan menara BTS (based transceiver station) telepon seluler dan pekerja bangunan rumah BRR.

”Memang kami harus banyak bergaul supaya banyak yang pesan makanan kepada kami,” tuturnya.

Ia juga menjadi anggota kelompok usaha kecil dampingan LSM internasional Oxfam yang beranggota 15 perempuan. Di kelompok bernama Penggalas itu, Yumirna mendapat pinjaman Rp 3.250.000. Uang itu ia gunakan untuk membeli kompor dan alat dapur agar bisa menambah menu mi sop sebagai dagangan. Penghasilannya mencapai Rp 200.000-Rp 300.000 per hari.

Namun, dari 15 orang itu hanya Yumirna yang bertahan. ”Tak ada yang berhasil, banyak orang tidak sabar. Kalau orang jualan kan mesti sabar,” katanya.
Menyewa dua kapling

Kesabarannya menuai hasil. Warungnya yang semula di tenda bantuan, setelah beberapa kali pindah, kini menempati bangunan yang terbuat dari kayu beratap seng di kompleks Pasar Idanögawo. Ia menyewa dua kapling yang sekaligus menjadi tempat tinggal.

Yumirna bercerita, warungnya berkembang karena Oxfam banyak memesan makanan kepadanya, terutama nasi bungkus dan penganan untuk peserta pelatihan yang diselenggarakan LSM tersebut. Sekali pesan, jumlahnya ratusan paket.

Ia menunjukkan pembukuan warung yang juga diajarkan Oxfam. Selain Oxfam, beberapa LSM lain juga memesan makanan kepadanya. ”Nanti, kalau mereka pergi, langganan saya berkurang,” tuturnya bernada khawatir.

Bagaimanapun, keuntungan berjualan makanan sudah dirasakan Yumirna dan keluarga. Tak hanya bisa menutupi kebutuhan makan sehari-hari, ia juga bisa membuat warung. Ia juga mampu membeli notebook seharga Rp 6 juta agar anak-anaknya fasih dengan komputer.
Bahkan, dengan notebook itu anak-anaknya dilatih membuka jasa pengetikan. Anak-anaknya juga membantu pekerjaan di warung, apalagi saat ada banyak pesanan.

Si sulung, Faznir Syam Harefa (18), bahkan mendapat beasiswa untuk kuliah di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, hasil kerja sama dengan IAIN di Medan.

Namun, Yumirna masih punya ”ganjalan”. Sebelum gempa datang, ia punya pinjaman pada BRI sebesar Rp 22 juta. Saat gempa dan tsunami menerjang Nias, baru tiga kali dia mengangsur.

”Setelah itu, kami tidak bisa membayar lagi. Namun, kami tetap akan datang ke BRI untuk membicarakan masalah ini supaya nama baik ini terjaga,” kata Yumirna yang sudah menyelesaikan kursus membordir. Sayang, ia belum bisa membuka usaha bordir karena keterbatasan dana.

Di desa mereka, Yasmin sudah membersihkan lahan seluas satu hektar untuk bertanam cokelat. Kerja keras itu sebagai upaya mereka agar dapat menabung, terutama untuk membiayai sekolah keenam anaknya.

Pada Desember ini, Yumirna merasakan Pulau Nias mulai sepi. Namun, dia sepenuhnya sadar, warga setempat harus bisa mandiri saat bantuan tiada lagi. Mereka benar-benar harus mampu berdiri di atas kaki sendiri.

Sunday, December 07, 2008

Chief of Nias post-tsunami body tasked to help Myanmar

The Jakarta post, , Jakarta Sat, 12/06/2008 11:33 AM Headlines

A top official at the post-tsunami reconstruction agency in Aceh and Nias has been assigned to assist in the rebuilding of cyclone-devastated Myanmar, the Foreign Ministry announced Friday.

William Sabandar, Nias regional director at the Rehabilitation and Reconstruction Agency (BRR), was named the chief technical adviser to formulate the Post-Nargis Recovery and Preparedness Plan, ministry spokesman Teuku Faizasyah told reporters.

Cyclone Nargis struck Myanmar in early May this year, killing more than 170,000 people and affecting 2.4 million others living in the Irrawady delta, the region's main rice-growing area.

Following the disaster, a tripartite core group was established comprising high-level representatives from the Myanmar government, the UN and ASEAN.

"I will be reporting to the ASEAN secretary-general," William said Friday after the launch of the latest BRR Nias report.

He added he would only be able to work "with the support of the leadership" of the BRR and ASEAN.

Having returned recently from a trip to Myanmar, William said refugees there had gone back to the hardest hit areas of the Irrawaddy, but he noted aid commitments were slow in coming, compared to those following the 2004 earthquake and tsunami in Indonesia and other Indian Ocean countries.

Those affected by Nargis, mostly poor even before the cyclone, now live in their own homes, William said, though some still lived in tents.

The relief operation immediately after the disaster was "a success", he said, with the World Health Organization gaining access to critical areas and preventing several feared infectious outbreaks.

"We're now entering the reconstruction phase (in the cyclone-ravaged areas)," William said.
According to the UN's relief agency, a recovery plan involving the international community is needed to "complement" Myanmar's recovery and reconstruction efforts. The UN and its partners will develop medium-term recovery plans for 2009-2011, says the UN Office for the Coordination of Humanitarian Affairs.

The parties will cooperate in disaster risk reduction, education, health, livelihood (agriculture and non-agriculture), shelter and water, and sanitation, according to the agency's website, http://www.reliefweb.int/.

The plan is scheduled to be presented at the ASEAN-UN summit, planned for mid-December.

Tuesday, November 25, 2008

BRR Nias prepares to hand over the reins

Tuesday, November 25, 2008 3:28 PM

Dian Kuswandini , The Jakarta Post , Jakarta Tue, 11/25/2008 7:06 AM Headlines

The Rehabilitation and Reconstruction Agency on Nias Island (BRR Nias) has said more projects will continue after its tenure expires next month, including those aimed at alleviating poverty and sustaining the local economy.

BRR Nias regional director William P. Sabandar said that as Nias was among the poorest regions in the country, more work was needed to ensure the region’s future prosperity.

“In developing Nias’ economy we will focus on soft projects like improving agricultural production, such as rubber, cacao and rice, as well as expanding their market penetration,”
William told The Jakarta Post on Monday.

The agency will also work at improving transportation facilities in the area, including by building more roads in villages to support the distribution of local products.

The agency also plans to complete several unfinished projects to support the local economy, including two fishing boat ports in the Teluk Dalam-Teluk Belukar area, Muzoi Bridge, Binaka airport and Teluk Dalam airstrip.

William said that during the agency’s three-and-a-half-year tenure it had met 89.66 percent of its targets — the highest level of achievement seen in the infrastructure sector.

Projects to empower the local community, develop the local economy and mitigate disasters will be the region’s priorities after the agency ends its mission in December.

The agency will also continue to train Nias locals in planting and disaster prevention, William said.

BRR Nias was established to carry out recovery programs following the Dec. 26, 2004, tsunami and the strong earthquake that hit the region in March 28, 2005.

The disasters killed almost 1,000 people on the island, displaced 70,000 others and destroyed buildings and infrastructure, causing Rp 6 trillion in total damages.

Reconstruction efforts in Nias have lagged behind those in Aceh, which was hit hardest by the tsunami.

Starting next month, the agency will enter a transition period lasting until May next year, when it will finish its mission.

During the handover period, the agency will work with the central government, local governments and several donors involved in the projects, including the International Labor Organization and the United Nations Children’s Fund.

According to the agency, the total budget for recovery programs in Nias between 2005 and 2009 is estimated at almost Rp 5.8 trillion. By the end of 2008, the disbursement of the budget is estimated to have reached Rp 4.2 trillion.