Thursday, March 15, 2007

BENCANA ALAM ATAU PEMBUNUHAN MASSAL?

Oleh: Andre Vitchek [*]

Lain hari, terjadi lagi kehilangan nyawa yangsesungguhnya tidak perlu: 16 orang terbunuh dan 16orang masih hilang pada saat banjir dan longsor diTahuna, sebuah pulau kecil dekat Sulawesi.Dengan kecepatan yang mengerikan, Indonesia telahmenggantikan Bangladesh dan India sebagai bangsa yangpaling rentan bencana di dunia. Jika nama Indonesiamuncul pada daftar judul utama di berita Yahoo, besarkemungkinan telah terjadi lagi suatu tragedi besaryang sesungguhnya tidak perlu terjadi di salah satupulau dari kepulauan yang tersebar luas ini.Pesawat terbang hilang atau tergelincir di landasanpacu, kapal-kapal ferry tenggelam atau rontok dilautan bebas, kereta api bertabrakan atau tergelincirsatu kali seminggu, penumpang yang tak berkarcisberjatuhan dari atap yang berkarat. Tumpukan sampahyang berbau busuk dan tidak diatur telah menimbunkelompok pemulung yang tak berdaya, tanah longsortelah menghanyutkan rumah-rumah kardus ke anak-anaksungai, gempa bumi serta gelombang pasang telahmenghancurkan kota-kota serta desa-desa pantai.Kebakaran hutan di Sumatra telah menyesakkan nafaspenduduk di daerah yang luas di Asia Tenggara.Ruang lingkup bencana sebesar ini tidak pernah terjadisebelumnya dan sungguh aneh jika mengabaikannnyasekedar sebagai nasib jelek bangsa atau amarah Tuhanataupun karena amarah alam belaka. Sebagian besarbencana ini harus dipersalahkan pada korupsi,inkompetensi atau sekedar ketidakacuhan dari kelompokelite yang sedang berkuasa dan para pejabatpemerintah. Adalah kemiskinan, minimnya projek untukkepentingan umum, dan kegemaran [para pejabat untuk ]mencuri yang membunuh ratusan ribu prya, wanita sertaanak-anak Indonesia yang tidak berdaya.Sejak kudeta militer dalam tahun 1965 yang disponsoriAmerika Serikat yang menjatuhkan Sukarno, danmenaikkan rezim militer yang sangat anti komunis,korup, dan pro pasar dari diktator Suharto, Indonesiaterhindar dari pengawasan yang sungguh-sungguh darimedia dan pemerintahan negara-negara Barat. Setelahjatuhnya Suharto dalam tahun 1998, Indonesia dipujioleh media massa sebagai suatu demokrasi yang sedangtumbuh dan semakin toleran.Sebagian dari bencana ini adalah buatan manusia; [dan]hampir semuanya malah bisa dicegah. Dalam penelusuranyang lebih cermat semakin jelas terlihat bahwaorang-orang mati karena hampir tidak ada upayapencegahan, kurangnya pendidikan (Indonesia merupakannegara yang ketiga paling rendah prosentase GDPanggaran pendidikannya sesudah Equatorial Guinea danEcuador) dan suatu sistem ekonomi pro pasar yang buasyang membiarkan sekelompok kecil orang kaya untukmemperkaya dirinya sendiri di atas penderitaan orangbanyak yang hidup dengan biaya kurang dari dua dollarsehari.Kesimpulan yang dapat ditarik terhadap bagaimanaberfungsinya masyarakat Indonesia bisa sangatmengerikan. Namun, menghindari pengungkapan hal initidak diragukan lagi akan menyebabkan jatuhnya korbannyawa yang berharga dari ratusan ribu manusia.Indonesia didorong oleh semangat mencari untung dalambentuknya yang paling ekstrim. Ia juga merupakan salahsatu dari bangsa yang paling korup di muka bumi. Dankelihatannya tidak ada keuntungan cepat yang dapatdiperoleh dari mengambil langkah-langkah preventif.Dimanapun dunia, bendungan dan dinding anti-tsunamidipandang sebagai pekerjaan umum dan justru perkataan–umum—yang telah hampir lenyap dari kamus mereka yangmembuat keputusan di Indonesia.Keuntungan berjangka pendek bagi sekelompok khususorang diberikan prioritas yang lebih tinggi darikemanfaatan berjangka panjang bagi seluruh bangsa.Keruntuhan moral dari bangsa ini terbayang dalam skalanilai: orang korup tapi kaya memperoleh penghormatanyang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yangjujur tapi miskin.Tenggelamnya kapal-kapal ferry bukanlah “karena anginkencang dan ombak”; kapal-kapal itu tengelam karenapenih sesak oleh penumpang dan karena perawatan yangburuk. Semuanya bisa dijadikan uang, bahkankeselamatan ribuan penumpang.Perusahaan-perusaha an hanya ingat terhadapkeuntungannya sendiri, sedangkan para pengawas daripemerintah hanya memperhatikan uang suap belaka.Tenggelamnya kapal Senopati Nusantara dengan ratusankurban dan disiarkan secara luas itu hanyalah salahsatu dari ratusan kecelakaan laut yang terjadi setiaptahun di Indonesia. Walaupun tidak bisa diperolehangka statistik yang pasti (dengan alasan yang dapatdiduga, yaitu karena pemerintah Indonesia berusahasekeras-kerasnya untuk mencegah dipublikasikannyastatistik komparatif secara lengkap), beberapa rutepelayaran kehilangan lebih dari tiga kapal setiaptahun.Catatan keamanan dari industri penerbangan Indonesiamerupakan salah satu yang paling buruk di dunia. Sejaktahun 1997, sekurang - kurangnya 666 orang telahmeninggal dalam delapan kecelakaan pesawat diIndonesia. Latihan terhadap beberapa orang pilotsedemikian buruknya sehingga pesawat seringtergelincir di landasan pacu atau sama sekali tidakbisa menemukan landasan, atau [malah] mendarat dibagian tengah landasan.Pemeliharaan pesawat adalah masalah lainnya: flapssering tidak berfungsi sama sekali; roda tidak dapatdimasukkan setelah take-off, ban yang jarang diganticenderung meletus pada saat mendarat. Sungguhmerupakan suatu keajaiban bagaimana beberapa pesawat –khususnya pesawat tua Boeing 737 yang diterbangkanoleh hampir semua perusahaan penerbangan Indonesiabisa lolos dari inspeksi.Setelah mewawancarai pejabat penerbangan sipil lokal(yang jelas namanya tidak mau disebutkan) wartawanAnda mengetahui bahwa sistem navigasi dari beberapabandar udara Indonesia berada dalam keadaan yangamburadul, terutama bandar udara Makasar di Sulawesidan Medan di Sumatra.Rata-rata, telah terjadi satu kecelakaan kereta apisetiap enam hari di Indonesia, umumnya disebabkankarena kurangnya penjagaan pada 8000 lintasan keretaapi. Sebagai perbandingan, kereta api Malaysia tidakpernah mengalami kecelakaan fatal selama 13 tahunsampai tahun 2005 ( kecelakaan terjadi tahun 2006,yang statistiknya bisa diperoleh).Walaupun kenyataan menunjukkan bahwa Indonesia secararelatif mempunyai jumlah mobil per kapita yang kecil,namun jalan-jalannya merupakan jaringan jalan yang“paling banyak digunakan” di dunia (hanya nomor duasetelah Hongkong yang bukan merupakan negara): 5.7juta kenderaan-km per tahun dari jaringan jalan.(2003, The Economist World in Figures, 2007 Edition).Menurut The Financial Times, walaupun kepadatan yangluar biasa serta lalu lintas yang bagaikan merangkakini, lebih dari 80 orang tewas setiap hari dijalan-jalan Indonesia, umumnya disebabkan oleh karenaamat buruknya infrastruktur dan amat lemahnyapenegakan hukum.Gempa bumi belaka tidaklah membunuh manusia. Faktorpenyebab banyaknya jatuh korban adalah buruknyakonstruksi rumah serta bangunan, bersamaan dengankurangnya upaya preventif dan pendidikan preventif.Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Indonesia rentanterhadap bencana; bahwa ia berada di kawasan yangdisebut sebagai ‘lingkaran api’ (ring of fire). Namunkaum miskin tidak bisa mengharapkan adanya proyekperumahan umum yang mampu menahan gempa (seperti yangdibangun di negara tenggara Malaysia). Hampir setiapkeluarga harus mngurus nasibnya sendiri: mereka harusmeracnang dan mendirikan tempat tinggalnya sendiri.Gempa besar membunuh ratusan orang, kadang-kadangribuan orang, dan menyebabkan ratusan ribu orangkehilangan rumah mereka. Sekurang-kurangnya 5.800orang meninggal dan 36.000 luka-luka pada tanggal 27Mei 2006 sewaktu gempa berkekuatan 6.2 skala Richtermenghantam daerah Jawa Tengah dekat kota bersejarahYogyakarta. Infrastruktur yang primitif, fasilitasmedia yang tidak memadai, dan korupsi yang terjadipada saat pendistribusian bantuan merupakan faktoryang menyebabkan tingginya jumlah korban pada saatterjadinya goncangan.Pembabatan hutan secara tidak sah (illegal logging)dan penggundulan hutan merupakan alasan utamaterjadinya tanah longsor. Semua orang tahu siapa yangbertanggung jawab terhadap terjadinya kebakaran hutandi Sumatera dan di tempat-tempat lain, tetapi parapejabat pemerintah enggan sekali melakukanpenangkapan, oleh karena mereka yang bertanggung jawabterhadap penggundulan hutan tersebut biasanya kayaraya dan mempunyai koneksi dengan negara dimana bahkankeadilan bisa dijual.Demikian banyak bentuk penyelesaian terhadapmasalah-masalah ini, termasuk penegakan hukum,inspeksi dan upaya untuk mencari nafkah alternatifbagi masyarakat yang sedemikian putus asanya, sehinggamereka secara harfiah terpaksa ikut serta menggalilubang kuburnya sendiri dengan menghancurkanlingkungan, yang selanjutnya menghancurkan seluruhmasyarakat itu sendiri. Namun hampir tidak ada yangdilakukan sama sekali, oleh karena pembabatan hutansecara tidak sah merupakan bisnis raksana dan sangatmenguntungkan, yang dapat mengisi demikian banyaktelapak tangan yang menunggunya dengan sukacita.Bulan lalu, beberapa puluh orang terbunuh kaena tanahlongsor dan banjir bandang di bagian utara pulauSumatra, yang memaksa 400.000 oang terpaksa mengungsidari rumah mereka. Pada bulan Juni 2006, banjir dantanah longsor yang disebabkan oleh hutan lebat telahmenewaskan lebih dari 200 orang di provinsi SulawesiSelatan.Gelombang raksasa, yang terkenal sebagai tsunami,telah menewaskan lebih dari 126.000 orang di provinsiAceh pada bulan Desember 2004. Bukan saja reaksi daripemerintah Indonesia dan militernya amat lamban,sebagian besar dari bantuan luar negeri yang amatbanyak itu lenyap karena korupsi. Jangankan membantukorban, banyak anggota tentara Indonesia memerassogokan dari lembaga-lembaga bantuan dan merusakperbekalan atau air minum yang berharga jika sogokantidak dibayar.Dalam suatu kasus menyolok tentang perampasan tanaholeh pemerintah, banyak korban dihambat pulang ketanahnya sendiri, sedangkan anak-anak dipisahkansecara paksa dari orang tuanya (karena kehilangansertifikat kelahiran) dan ‘diadopsi’ olehorganisasi-organisa si keagamaan; beberapa diantaranya menjadi korban perdagangan manusia (humantraficking).Lebih dari dua tahun setelah terjadinya tragedi yangmenghancur- luluhkan Aceh ini, ratusan ribu orangmasih tinggal di rumah-rumah darurat. Masih banyakkorban tsunami lainnya, yang menghantam pantai Jawaselatan pada tanggal 17 Juli 2006 yang masih menunggubantuan yang berarti. Menurut angka-angka resmi,sebanyak 600 orang tewas, namun angka yang sebenarnyahampir pasti jauh lebih tinggi. Pejabat-pejabatIndonesia telah menerima peringatan dini dari Jepangnamun tidak ada bertindak, kemudian mengatakan bahwatidak banyak yang dapat diperbuat karena daerahtersebut tidak dilengkapi dengan sirene atau pengerassuara.Indonesia sering menderita berbagai jenis bencanabuatan manusia yang sungguh sukar untuk dimengerti dandiperbandingkan dengan apapun juga. “Banjir lumpur”baru-baru ini telah menenggelamkan demikian banyakdesa di [Sidoarjo]. Bencana itu terjadi karena tidakdipatuhinya prosedur secara wajar oleh suatuperusahaan eksplorasi gas (yang sebagian sahamnyadimiliki oleh salah seorang menteri kabinet).“Kecelakaan” ini telah menyebabkan lebih dari 10.000orang menjadi pengungsi, dan merendam lebih dari 1.000are tanah dengan lumpur panas, menghancurkansatu-satunya jalan raya dari Surabaya serta jalankereta api utama.Sampah telah menguburkan suatu desa pemulung miskinpada sebuah penimbunan sampah tanpa izin di luar kotaBandung. Banyak lagi kejadian seperti itu, tapi daftarlengkap akan memerlukan banyak sekali halaman suratkabar, bahkan mungkin suatu buku yang khusus ditulistentang hal itu.Masalahnya adalah: kapankah rakyat Indonesia akanberkata bahwa sudah cukup apa yang terjadi itu dankapankah mereka akan menuntut pertanggungjawaban dankeadilan, angka-angka statistik yang benar, dan ‘cetakbiru’ yang konkrit untuk menyelesaikannya? Hampir disemua negara, dua bencana yang terjadi baru-baru ini –peristiwa tenggelam yang mengerikan dari kapan ‘SatriaNusantara” dan ‘hilang’-nya pesawat Boeing 737 AdamAir dengan 102 penumpang – sudah lebih dari cukupuntuk memaksa menteri kabinet untuk mengundurkan diri.Di Indonesia, kedua tragedi ini dipandang (atauditampilkan) hanya sebagai suatu nasib buruk lainnyabelaka tanpa meminta pertanggung- jawaban atauakuntabiltas siapa pun juga.Pers dan media massa Indonesia telah melaporkan secaradetail masing- masing dan setiap bencana itu. Tetapimereka gagal untuk menegaskan bahwa apa yang terjadiitu adalah suatu keadaan luar biasa dan tidak dapatditoleransi, bahwa mungkin tidak ada negara besarlainnya di dunia yang mengalami demikian banyak korbanmanusia yang tidak semestinya terjadi karena bencanabuatan manusia atau bencana yang sesungguhnya bisadicegah.Upaya mengaitkan demikian banyak bencana dengankorupsi dan sistem sosial ekonomi telah ditolak samasekali. Surat kabar Indonesia terkemuka Jakarta Post,baru-baru ini memberangus komentar ini, dan menolakmenerbitkannya di halaman-halamannya.Sejak Desember 2004, Indonesia telah kehilangansekitar 200 ribu orang rakyatnya dalam berbagaibencana, tidak termasuk kecelakaan mobil di jalan rayadan konflik bersenjata yang terjadi di seluruhkepulauan Indonesia. Jumlah itu lebih besar darijumlah korban di Irak pada saat yang sama, juga lebihbesar dari korban yang jatuh di Sri Langka atau diPeru selama perang saudara yang demikian lama.Sungguh, banyak orang Indonesia yang hidup dalamkeadaan berbahaya dan penuh risiko seperti mereka yanghidup di daerah yang tercabik- cabik oleh perang.Sebagian besar mereka tidak menyadarinya, oleh karenastatistik komparatif atau tidak tersedia atau telahditekan. Indonesia adalah miskin, tetapi masih beradadalam posisi untuk melindungi sebagian dari warganyayang rentan. Masalah utama adalah tidak adanyakehendak politik (political will).Cukup banyak semen dan batu bata untuk membuatbendungan dan dinding untuk menghambat tsunami, untukmemperkuat bukit-bukit di sekitar kota-kota, yangterancam akan dikuburkan oleh tanah longsor. Suatupenglihatan sekilas di sekitar Jakarta berlusin-lusinshopping malls baru dibangun di beberapa tempat,dimana istana-istana mewah dari pejabat-pejabat yangkorup telah memakan berhektar-hektar tanah.Keengganan untuk menyelesaikan masalah mempunyaiakarnya pada korupsi. Badan-badan usaha sertapejabat-pejabat lokal telah mengembangkan kemampuankhusus untuk mengeruk keuntungan dari apa pun juga,bahkan dari bencana dan dari pederitaan berjuta-jutarakyatnya sendiri.Dalam kalimat sederhana, korupsi adalah pencurian daripublik. Tetapi jika korban yang harus dibayar harusdihitung dengan hilangnya ratusan ribu nyawa, iamenjadi pembunuhan massal.[*] Penulis seorang novelis, jurnalis, produser film,salah seorang pendiri dari Mainstay Press(www.mainstaypress. org), Senior Fellow pada OaklandInstitute (www.oaklandinstitu te.org). Saat ini iatinggal dan bekerja di Asia Tenggara dan bisadihubungi pada alamat email andre-wcn@usa. net. Naskahaslinya berjudul “Indonesia: Natural Disasters or MassMurder?”, dimuat dalam International Herald Tribunedan The Financial Times, 12 Februari 2007, dikirimkanvia e-mailoleh Duta Besar RI di Ceko, Prof Dr Salim Said,MA,MAIA, dan diterjemahkan oleh Dr. Saafroedin Bahar,Komnas HAM.

No comments: