Kompas, 28 Maret 2007
Pascagempa NiasSudah Terlalu Lama di Pengungsian
khaerudin
Masrifa Tanjung masih ingat penghasilannya saat menjadi nelayan sebelum gempa bumi mengguncang Pulau Nias, 28 Maret 2005. Ia mengantongi Rp 300.000 per minggu. Kini, meraih Rp 10.000 per hari, bapak enam anak ini merasa sulit luar biasa.
Sebelum gempa, Masrifa bersama keluarganya mengontrak rumah, yang kemudian hancur tak bersisa. Setahun sejak gempa, Masrifa dan ratusan keluarga nelayan bernasib sama tinggal di tenda pengungsian di Gunungsitoli. Sejak setahun terakhir, ia menghuni perumahan sementara di Lamcandika Pramuka, Desa Saewe, 5 km dari Gunungsitoli.
Dua tahun setelah gempa, kehidupan bertambah sulit bagi Masrifa dan keluarganya. Bantuan makanan yang biasa didapat dari Program Pangan Dunia PBB (WFP) praktis tak lagi mereka terima sejak Desember. Untuk menghidupi keluarganya, Masrifa bekerja serabutan. "Kadang jadi kuli angkut pupuk di gudang FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian). Upahnya Rp 10.000," tutur Masrifa.
Tak jauh berbeda dengan nasib keluarga Masrifa, keluarga Ramadhan Zebua merasakan hal yang sama. Istrinya, Warni Nduru, bekerja sebagai pengumpul ikan untuk dijual ke pasar di Gunungsitoli. Sekarang, baik Ramadhan maupun Warni tak lagi punya pekerjaan tetap.
Ancaman berbagai penyakit, seperti diare dan infeksi saluran pernapasan akut, menurut Warni, kini memang tak lagi menghantui keluarganya. Kesulitan air bersih dan kumuhnya permukiman tak lagi jadi masalah.
Namun, tinggal di pengungsian (shelter) bagi Warni dan Ramadhan kurang layak. Tanah di shelter didirikan bukan milik pengungsi korban gempa. Menurut Ramadhan, Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Nanggroe Aceh Darussalam-Nias sempat menjanjikan lahan untuk ditinggali para pengungsi.
"Pengungsi diminta mencari calon lahan yang akan ditempati, BRR yang mengurus pembeliannya. Rumah shelter yang ditinggali kini bakal dipindah ke lokasi itu," kata Ramadhan.
Hingga dua tahun setelah gempa, janji itu belum bisa direalisasikan oleh BRR. Masih ada 30 keluarga yang tinggal di shelter Lamcandika Pramuka.
"Orangtua dan anak perempuan biasanya tinggal di dalam kamar, sementara anak laki-laki di luar kamar," kata Warni.
Di belakang shelter, setiap pengungsi memodifikasi sendiri ruangan yang berfungsi sebagai dapur. Bekas tenda di pengungsian digunakan sebagai atap dapur. Untuk keperluan sanitasi, BRR membangun fasilitas tugu keran air dan mandi, cuci, kakus (MCK) di sekitar lokasi shelter.
Setahun sejak tinggal di shelter, para pengungsi sempat mempertanyakan kepastian tempat tinggal mereka ke BRR. Sayang, hingga kini badan yang bertanggung jawab terhadap proses rehabilitasi dan rekonstruksi di Nias ini hampir tak dipercayai lagi oleh pengungsi.
Dengan nada putus asa, Ramadhan mengatakan, kini dia dan banyak pengungsi lain tak percaya lagi dengan janji-janji BRR. Ia merasa tak nyaman tinggal di shelter yang dibangun di atas tanah bukan miliknya.
Masrifa ingin keluarganya kembali hidup normal seperti sebelum gempa mengguncang Nias. Kalaupun BRR ingin membantu, menurut Masrifa, seharusnya mereka berpikir bagaimana para pengungsi ini mendapatkan kembali pekerjaannya.
Menurut Manajer Komunikasi dan Informasi Publik BRR Perwakilan Nias Emanuel Migo, BRR kesulitan mengatasi pengungsi yang dulunya tak memiliki rumah. Menurut dia, BRR tak mungkin membeli tanah karena rekonstruksi di Nias bersifat merekonstruksi bangunan yang hancur akibat gempa. "Kalau gempa kan tanahnya tetap ada," kata Migo.
Ia menuturkan, BRR saat ini tengah memikirkan solusi bagaimana korban gempa yang tak memiliki tanah tetap bisa mempunyai tempat tinggal permanen. Salah satunya memberikan skema pinjaman ke pengungsi untuk membeli tanah. Selanjutnya, BRR akan membantu membangun rumah bagi pengungsi setelah mereka mendapat tanah. "Sebenarnya kami tak boleh berpikir sampai sedetail itu, tetapi kami tengah mengusahakannya," kata Migo.
Thursday, March 29, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment